Informasi Seputar Kota Cimahi

Kamis, 04 Agustus 2011

Permintaan Alquran Braille Meningkat Saat Ramadan

PERCAYA atau tidak, jumlah produksi Alquran braille masih belum sebanding dengan permintaan dari kalangan penyandang tunanetra. Terlebih saat memasuki bulan Ramadan. Setiap tahun, Alquran braille yang diterbitkan Kementerian Sosial Republik Indonesia dan diproduksi Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso di Jln. Leuwigajah, Cimahi, masih belum bisa memenuhi banyaknya permintaan.

Kepala Seksi Pencetakan dan Penerbitan BPBI Abiyoso, Ishak Zuarsah mengatakan, dalam setahun pihaknya hanya bisa memproduksi 75 set Alquran braille. Sementara jumlah penyandang tunanetra di Indonesia jumlahnya mencapai 1,5 juta orang.

Dikatakan, keterbatasan anggaran untuk Alquran braille yang membuat pihaknya tidak bisa memproduksinya lebih banyak lagi. "Sebenarnya kami mampu memproduksi lebih banyak. Tapi masalahnya, anggaran yang sekarang ini masih belum memadai, yaitu hanya Rp 700 juta per tahun. Terlebih jumlah itu tidak hanya untuk memproduksi Alquran braille, tapi juga buku, majalah, dan berbagai sumber bacaan lainnya," ungkap Ishak kepada wartawan, Rabu (3/8).

Dijelaskannya, setiap tahun BPBI mendapatkan alokasi dana dari daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tahunan, yang dipergunakan untuk mencetak, menerbitkan serta menyebarkan Alquran braille. Tercatat sudah lebih dari 3.000 set Alquran braille, telah disebar sejak tiga dasawarsa terakhir. Sayangnya, jumlah tersebut masih belum mampu memenuhi kebutuhan tunanetra muslim yang ada di Tanah Air.

"Tidak semua penyandang tunanetra berada di dalam satu panti atau yayasan. Hal itu menyebabkan penyebaran Alquran braille ini tidak merata. Selain itu, mahalnya satu set Alquran braille yaitu sekitar Rp 1,7 juta, menjadi salah satu kendala mengapa penyandang tunanetra yang beragama Islam belum bisa memilikinya," katanya.

Mengenai pembuatan Alquran, dikatakan Ishak, BPBI Abiyoso menggunakan mesin-mesin berteknologi Amerika, Norwegia, Jepang, dan Swedia. Mesin itu terbagi menjadi mesin manual dan otomatis (computerize). Dengan dibantu tiga orang editor, yang semuanya penyandang tunanetra, pembuatan 1 juz master cetak Alquran braille bisa memakan waktu hingga dua tahun pakai mesin manual dan satu tahun untuk mesin otomatis.

"Dalam satu set Alquran terdiri dari 1.540 lembar dengan kertas yang ukurannya 160 gram. Mengenai isinya, kami telah mempunyai standardisasinya, agar bisa menghindari kesalahan dalam penulisan. Alquran braille yang kami produksi juga telah mendapat pemeriksaan dari Depag mengenai standardisasinya, sesuai mushaf standar internasional dari UNESCO," ungkapnya.

Pengetahuan lebih

Teknis pembuatan Alquran braille, salah seorang operator mesin master BPBI Abiyoso, Agus Suparman menjelaskan, berbeda dengan pembuatan Alquran pada umumnya. Sebab, pembuatan Alquran braille membutuhkan pengetahuan lebih, tentang penguasaan kaidah bahasa Arab dan penulisan huruf braille.

Selain itu, seorang operator mesin master juga harus menguasai pemahaman tulisan braille, yang dimiliki seorang penyandang tunanetra.

Sementara itu, salah seorang pemeriksa Alquran braille, Heppy Septiawan mengatakan, proses pemeriksaan terhadap Alquran braille butuh ketelitian. Bagi mereka yang melihat justru dihadapkan pada persoalan yang lebih pelik, karena harus menguasai kaidah bahasa Arab dan penulisan bahasa Arab dalam bentuk braille.

"Caranya, saya membacakan Alquran braille dan satu orang lagi membaca Alquran dalam tulisan bahasa Arabnya. Kalau ada kesalahan, maka akan diberi tanda dan harus diperbaiki. Proses pemeriksaan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Sampai akhirnya Alquran braille siap diproduksi," ujarnya.
Share:

0 comments: